begittu lama saya tidak pernah menulis artikel tentang perkembangan apa yang terjadi di daerah perbatasan karena di balik sibuknya pekerjaan juga jarang nya ada waktu luang,,hari ini sedkit posting namun semoga bermanfaat,,sebgai informasi di berbagai kalangan,,,baru-baru ini ,,banyaknya peraih minyak yang menggunakan sepeda motor sudah beralih menggunakan mobil mewah,seperti kijang dan krista..wah kog bisa yah,,katanya peraih minyak itukan bekerja seperti ini murupakan sumber pencaharian untuk penghidupan rakyat,,,tapi klau kita lihat,,,itu bukan sumber kehidupan lagi tapi sumber kekayaan lhoo,,,
sekarang gue mau bilang "wooooow",,,sampai saat ini mereka berlomba-lomba beli mobil buat ambil minyak SPBU,,subsidi dan siap untuk di jual dengan harga NON subsidi,,ehmm,,menurut peraturan undang-undang yang berlaku boleh nggk sih,,,mohon dungk para pembaca berbagi ilmu dan pengalaman,,,
- kalu di tanya mudah saja itu kan buat masyarakat dan nelayan yang membutuhkan selsai masalh hee tapi kenyataannya ratusan bahkan ribuan liter per 3 hari habis di lalap genset perusahaan ,,,
haaaa,,,mana pihak yang berwenang,,,????itu aku nggk bisa jawab.mungkin belum saatnya,,atau nungguin merka samapai beli pesawat..wkwkwkwwkwk...yang paling menyedihkan buat perusahaan ada tapi buat masyarakt nggk ada...!!!
INI GUE SHARE KAN UUD TENTANG MINYAK DAN GAS BUMI TAKUT PEMBACA TERLUPA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 22 TAHUN 2001
TENTANG
MINYAK DAN GAS BUMI
NOMOR 22 TAHUN 2001
TENTANG
MINYAK DAN GAS BUMI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a.
bahwa pembangunan nasional harus diarahkan kepada terwujudnya
kesejahteraan rakyat dengan melakukan reformasi di segala bidang kehidupan
berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
b.
bahwa minyak dan gas bumi merupakan sumber daya alam strategis tidak
terbarukan yang dikuasai oleh negara serta merupakan komoditas vital yang
menguasai hajat hidup orang banyak dan mempunyai peranan penting dalam
perekonomian nasional sehingga pengelolaannya harus dapat secara maksimal
memberikan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat;
c.
bahwa kegiatan usaha minyak dan gas bumi mempunyai peranan penting dalam
memberikan nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan ekonomi nasional yang
meningkat dan berkelanjutan;
d.
bahwa Undang-undang Nomor 44 Prp. Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak
dan Gas Bumi, Undang-undang Nomor 15 Tahun 1962 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang Kewajiban
Perusahaan Minyak Memenuhi Kebutuhan Dalam Negeri, dan Undang-undang Nomor 8
Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara sudah
tidak sesuai lagi dengan perkembangan usaha pertambangan minyak dan gas bumi;
e.
bahwa dengan tetap mempertimbangkan perkembangan nasional maupun
internasional dibutuhkan perubahan peraturan perundang-undangan tentang
pertambangan minyak dan gas bumi yang dapat menciptakan kegiatan usaha
minyak dan gas bumi yang mandiri, andal, transparan, berdaya saing,
efisien, dan berwawasan pelestarian lingkungan, serta mendorong perkembangan
potensi dan peranan nasional;
f.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf
b, huruf c, huruf d, dan huruf e tersebut di atas serta untuk memberikan
landasan hukum bagi langkah-langkah pembaruan dan penataan atas penyelenggaraan
pengusahaan minyak dan gas bumi, maka perlu membentuk Undang-Undang tentang
Minyak dan Gas Bumi;
Mengingat :
1.
Pasal 5 ayat (1); Pasal 20 ayat (1), ayat (2), ayat (4), dan ayat (5);
Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah
dengan Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945;
2.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XV/MPR/1998
tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan
Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan Pusat dan
Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dengan persetujuan bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG MINYAK DAN GAS BUMI.
BAB I
KETENTUAN UMUM
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini
yang dimaksud dengan :
1.
Minyak Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam
kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa cair atau padat, termasuk
aspal, lilin mineral atau ozokerit, dan bitumen yang diperoleh dari proses
penambangan, tetapi tidak termasuk batubara atau endapan hidrokarbon lain yang
berbentuk padat yang diperoleh dari kegiatan yang tidak berkaitan dengan
kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi;
2.
Gas Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi
tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa gas yang diperoleh dari proses
penambangan Minyak dan Gas Bumi;
3.
Minyak dan Gas Bumi adalah Minyak Bumi dan Gas Bumi;
4.
Bahan Bakar Minyak adalah bahan bakar yang berasal dan/atau diolah dari
Minyak Bumi;
5.
Kuasa Pertambangan adalah wewenang yang diberikan Negara kepada
Pemerintah untuk menyelenggarakan kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi;
6.
Survei Umum adalah kegiatan lapangan yang meliputi pengumpulan, analisis,
dan penyajian data yang berhubungan dengan informasi kondisi geologi untuk
memperkirakan letak dan potensi sumber daya Minyak dan Gas Bumi di luar Wilayah
Kerja;
7.
Kegiatan Usaha Hulu adalah kegiatan usaha yang berintikan atau bertumpu
pada kegiatan usaha Eksplorasi dan Eksploitasi;
8.
Eksplorasi adalah kegiatan yang bertujuan memperoleh informasi mengenai
kondisi geologi untuk menemukan dan memperoleh perkiraan cadangan Minyak dan Gas
Bumi di Wilayah Kerja yang ditentukan;
9.
Eksploitasi adalah rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan
Minyak dan Gas Bumi dari Wilayah Kerja yang ditentukan, yang terdiri atas
pengeboran dan penyelesaian sumur, pembangunan sarana pengangkutan, penyimpanan,
dan pengolahan untuk pemisahan dan pemurnian Minyak dan Gas Bumi di lapangan
serta kegiatan lain yang mendukungnya;
10.
Kegiatan Usaha Hilir adalah kegiatan usaha yang berintikan atau bertumpu
pada kegiatan usaha Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan, dan/atau Niaga;
11.
Pengolahan adalah kegiatan memurnikan, memperoleh bagian-bagian,
mempertinggi mutu, dan mempertinggi nilai tambah Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi,
tetapi tidak termasuk pengolahan lapangan;
12.
Pengangkutan adalah kegiatan pemindahan Minyak Bumi, Gas Bumi, dan/atau
hasil olahannya dari Wilayah Kerja atau dari tempat penampungan dan Pengolahan,
termasuk pengangkutan Gas Bumi melalui pipa transmisi dan distribusi;
13.
Penyimpanan adalah kegiatan penerimaan, pengumpulan, penampungan, dan
pengeluaran Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi;
14.
Niaga adalah kegiatan pembelian, penjualan, ekspor, impor Minyak Bumi
dan/atau hasil olahannya, termasuk Niaga Gas Bumi melalui pipa;
15.
Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia adalah seluruh wilayah daratan,
perairan, dan landas kontinen Indonesia;
16.
Wilayah Kerja adalah daerah tertentu di dalam Wilayah Hukum Pertambangan
Indonesia untuk pelaksanaan Eksplorasi dan Eksploitasi;
17.
Badan Usaha adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang menjalankan
jenis usaha bersifat tetap, terus-menerus dan didirikan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku serta bekerja dan berkedudukan dalam wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia;
18.
Bentuk Usaha Tetap adalah badan usaha yang didirikan dan berbadan hukum
di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang melakukan kegiatan di
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan wajib mematuhi peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Republik Indonesia;
19.
Kontrak Kerja Sama adalah Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kontrak kerja
sama lain dalam kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi yang lebih menguntungkan
Negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat;
20.
Izin Usaha adalah izin yang diberikan kepada Badan Usaha untuk
melaksanakan Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan dan/atau Niaga dengan tujuan
memperoleh keuntungan dan/atau laba;
21.
Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah perangkat Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri dari Presiden beserta para Menteri;
22.
Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah beserta perangkat Daerah Otonom
yang lain sebagai Badan Eksekutif Daerah;
23.
Badan Pelaksana adalah suatu badan yang dibentuk untuk melakukan
pengendalian Kegiatan Usaha Hulu di bidang Minyak dan Gas Bumi;
24.
Badan Pengatur adalah suatu badan yang dibentuk untuk melakukan
pengaturan dan pengawasan terhadap penyediaan dan pendistribusian Bahan Bakar
Minyak dan Gas Bumi pada Kegiatan Usaha Hilir;
25.
Menteri adalah menteri yang bidang tugas dan tanggung jawabnya meliputi
kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi.
BAB II
AZAS DAN TUJUAN
AZAS DAN TUJUAN
Pasal 2
Penyelenggaraan kegiatan
usaha Minyak dan Gas Bumi yang diatur dalam Undang-undang ini berasaskan ekonomi
kerakyatan, keterpaduan, manfaat, keadilan, keseimbangan, pemerataan, kemakmuran
bersama dan kesejahteraan rakyat banyak, keamanan, keselamatan, dan kepastian
hukum serta berwawasan lingkungan.
Pasal 3
Penyelenggaraan kegiatan
usaha Minyak dan Gas Bumi bertujuan :
a.
menjamin efektivitas pelaksanaan dan pengendalian kegiatan usaha
Eksplorasi dan Eksploitasi secara berdaya guna, berhasil guna, serta berdaya
saing tinggi dan berkelanjutan atas Minyak dan Gas Bumi milik negara yang
strategis dan tidak terbarukan melalui mekanisme yang terbuka dan transparan;
b.
menjamin efektivitas pelaksanaan dan pengendalian usaha Pengolahan,
Pengangkutan, Penyimpanan, dan Niaga secara akuntabel yang diselenggarakan
melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat, dan transparan;
c.
menjamin efisiensi dan efektivitas tersedianya Minyak Bumi dan Gas Bumi,
baik sebagai sumber energi maupun sebagai bahan baku, untuk kebutuhan dalam
negeri;
d.
mendukung dan menumbuhkembangkan kemampuan nasional untuk lebih mampu
bersaing di tingkat nasional, regional, dan internasional;
e.
meningkatkan pendapatan negara untuk memberikan kontribusi yang
sebesar-besarnya bagi perekonomian nasional dan mengembangkan serta memperkuat
posisi industri dan perdagangan Indonesia;
f.
menciptakan
lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat yang adil dan
merata, serta tetap menjaga kelestarian lingkungan hidup.
BAB III
PENGUASAAN DAN PENGUSAHAAN
PENGUASAAN DAN PENGUSAHAAN
Pasal 4
(1) Minyak dan Gas Bumi
sebagai sumber daya alam strategis takterbarukan yang terkandung di dalam
Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikuasai
oleh negara.(2) Penguasaan oleh negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan.
(3) Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan membentuk Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 23.
Pasal 5
Kegiatan usaha Minyak dan
Gas Bumi terdiri atas :
1.
Kegiatan Usaha Hulu yang mencakup :
a.
Eksplorasi;
b.
Eksploitasi.
2.
Kegiatan Usaha Hilir yang mencakup :
a.
Pengolahan;
b.
Pengangkutan;
c.
Penyimpanan;
d.
Niaga.
Pasal 6
(1) Kegiatan Usaha Hulu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 1 dilaksanakan dan dikendalikan melalui
Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 19.(2) Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit memuat persyaratan :
a.
kepemilikan sumber daya alam tetap di tangan Pemerintah sampai pada titik
penyerahan;
b.
pengendalian manajemen operasi berada pada Badan Pelaksana;
c.
modal dan risiko seluruhnya ditanggung Badan Usaha atau Bentuk Usaha
Tetap.
Pasal 7
(1) Kegiatan Usaha Hilir
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 2 dilaksanakan dengan Izin Usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 20.(2) Kegiatan Usaha Hilir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 2 diselenggarakan melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat, dan transparan.
Pasal 8
(1) Pemerintah memberikan
prioritas terhadap pemanfaatan Gas Bumi untuk kebutuhan dalam negeri dan
bertugas menyediakan cadangan strategis Minyak Bumi guna mendukung penyediaan
Bahan Bakar Minyak dalam negeri yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.(2) Pemerintah wajib menjamin ketersediaan dan kelancaran pendistribusian Bahan Bakar Minyak yang merupakan komoditas vital dan menguasai hajat hidup orang banyak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(3) Kegiatan usaha Pengangkutan Gas Bumi melalui pipa yang menyangkut kepentingan umum, pengusahaannya diatur agar pemanfaatannya terbuka bagi semua pemakai.
(4) Pemerintah bertanggung jawab atas pengaturan dan pengawasan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) yang pelaksanaannya dilakukan oleh Badan Pengatur.
Pasal 9
(1) Kegiatan Usaha Hulu dan
Kegiatan Usaha Hilir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 1 dan angka 2
dapat dilaksanakan oleh :
a.
badan usaha milik negara;
b.
badan usaha milik daerah;
c.
koperasi; usaha kecil;
d.
badan usaha swasta.
(2) Bentuk Usaha Tetap
hanya dapat melaksanakan Kegiatan Usaha Hulu.
Pasal 10
(1) Badan Usaha atau Bentuk
Usaha Tetap yang melakukan Kegiatan Usaha Hulu dilarang melakukan Kegiatan Usaha
Hilir.(2) Badan Usaha yang melakukan Kegiatan Usaha Hilir tidak dapat melakukan Kegiatan Usaha Hulu.
BAB IV
KEGIATAN USAHA HULU
KEGIATAN USAHA HULU
Pasal 11
(1) Kegiatan Usaha Hulu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 1 dilaksanakan oleh Badan Usaha atau
Bentuk Usaha Tetap berdasarkan Kontrak Kerja Sama dengan Badan Pelaksana.(2) Setiap Kontrak Kerja Sama yang sudah ditandatangani harus diberitahukan secara tertulis kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
(3) Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memuat paling sedikit ketentuan-ketentuan pokok yaitu :
a.
penerimaan negara;
b.
Wilayah Kerja dan pengembaliannya;
c.
kewajiban pengeluaran dana;
d.
perpindahan kepemilikan hasil produksi atas Minyak dan Gas Bumi;
e.
jangka waktu dan kondisi perpanjangan kontrak;
f.
penyelesaian perselisihan;
g.
kewajiban pemasokan Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi untuk kebutuhan dalam
negeri;
h.
berakhirnya kontrak;
i.
kewajiban pascaoperasi pertambangan;
j.
keselamatan dan kesehatan kerja;
k.
pengelolaan lingkungan hidup;
l.
pengalihan hak dan kewajiban;
m.
pelaporan yang diperlukan;
n.
rencana pengembangan lapangan;
o.
pengutamaan pemanfaatan barang dan jasa dalam negeri;
p.
pengembangan masyarakat sekitarnya dan jaminan hak-hak masyarakat adat;
q.
pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia.
Pasal 12
(1) Wilayah Kerja yang akan
ditawarkan kepada Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap ditetapkan oleh Menteri
setelah berkonsultasi dengan Pemerintah Daerah.(2) Penawaran Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh Menteri.
(3) Menteri menetapkan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang diberi wewenang melakukan kegiatan usaha Eksplorasi dan Eksploitasi pada Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
Pasal 13
(1) Kepada setiap Badan
Usaha atau Bentuk Usaha Tetap hanya diberikan 1 (satu) Wilayah Kerja.(2) Dalam hal Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap mengusahakan beberapa Wilayah Kerja, harus dibentuk badan hukum yang terpisah untuk setiap Wilayah Kerja.
Pasal 14
(1) Jangka waktu Kontrak
Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dilaksanakan paling lama
30 (tiga puluh) tahun.(2) Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap dapat mengajukan perpanjangan jangka waktu Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling lama 20 (dua puluh) tahun.
Pasal 15
(1) Kontrak Kerja Sama
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) terdiri atas jangka waktu
Eksplorasi dan jangka waktu Eksploitasi.(2) Jangka waktu Eksplorasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan 6 (enam) tahun dan dapat diperpanjang hanya 1 (satu) kali periode yang dilaksanakan paling lama 4 (empat) tahun.
Pasal 16
Badan Usaha atau Bentuk
Usaha Tetap wajib mengembalikan sebagian Wilayah Kerjanya secara bertahap atau
seluruhnya kepada Menteri.
Pasal 17
Dalam hal Badan Usaha atau
Bentuk Usaha Tetap yang telah mendapatkan persetujuan pengembangan lapangan yang
pertama dalam suatu Wilayah Kerja tidak melaksanakan kegiatannya dalam jangka
waktu paling lama 5 (lima) tahun sejak berakhirnya jangka waktu Eksplorasi wajib
mengembalikan seluruh Wilayah Kerjanya kepada Menteri.
Pasal 18
Pedoman, tata cara, dan
syarat-syarat mengenai Kontrak Kerja Sama, penetapan dan penawaran Wilayah
Kerja, perubahan dan perpanjangan Kontrak Kerja Sama, serta pengembalian
Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14,
Pasal 15, Pasal 16, dan Pasal 17 diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 19
(1) Untuk menunjang
penyiapan Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), dilakukan
Survei Umum yang dilaksanakan oleh atau dengan izin Pemerintah.(2) Tata cara dan persyaratan pelaksanaan Survei Umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 20
(1) Data yang diperoleh
dari Survei Umum dan/atau Eksplorasi dan Eksploitasi adalah milik negara yang
dikuasai oleh Pemerintah.(2) Data yang diperoleh Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap di Wilayah Kerjanya dapat digunakan oleh Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap dimaksud selama jangka waktu Kontrak Kerja Sama.
(3) Apabila Kontrak Kerja Sama berakhir, Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap wajib menyerahkan seluruh data yang diperoleh selama masa Kontrak Kerja Sama kepada Menteri melalui Badan Pelaksana.
(4) Kerahasiaan data yang diperoleh Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap di Wilayah Kerja berlaku selama jangka waktu yang ditentukan.
(5) Pemerintah mengatur, mengelola, dan memanfaatkan data sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) untuk merencanakan penyiapan pembukaan Wilayah Kerja.
(6) Pelaksanaan ketentuan mengenai kepemilikan, jangka waktu penggunaan, kerahasiaan, pengelolaan, dan pemanfaatan data sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 21
(1) Rencana pengembangan
lapangan yang pertama kali akan diproduksikan dalam suatu Wilayah Kerja wajib
mendapatkan persetujuan Menteri berdasarkan pertimbangan dari Badan Pelaksana
dan setelah berkonsultasi dengan Pemerintah Daerah Provinsi yang bersangkutan.(2) Dalam mengembangkan dan memproduksi lapangan Minyak dan Gas Bumi, Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap wajib melakukan optimasi dan melaksanakannya sesuai dengan kaidah keteknikan yang baik.
(3) Ketentuan mengenai pengembangan lapangan, pemroduksian cadangan Minyak dan Gas Bumi, dan ketentuan mengenai kaidah keteknikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 22
(1) Badan Usaha atau Bentuk
Usaha Tetap wajib menyerahkan paling banyak 25% (dua puluh lima persen)
bagiannya dari hasil produksi Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi untuk memenuhi
kebutuhan dalam negeri.(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB V
KEGIATAN USAHA HILIR
KEGIATAN USAHA HILIR
Pasal 23
(1) Kegiatan Usaha Hilir
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 2, dapat dilaksanakan oleh Badan Usaha
setelah mendapat Izin Usaha dari Pemerintah.(2) Izin Usaha yang diperlukan untuk kegiatan usaha Minyak Bumi dan/atau kegiatan usaha Gas Bumi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibedakan atas :
a.
Izin Usaha Pengolahan;
b.
Izin Usaha Pengangkutan;
c.
Izin Usaha Penyimpanan;
d.
Izin Usaha Niaga.
(3) Setiap Badan Usaha
dapat diberi lebih dari 1 (satu) Izin Usaha sepanjang tidak bertentangan dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 24
(1) Izin Usaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 paling sedikit memuat :
a.
nama penyelenggara;
b.
jenis usaha yang diberikan;
c.
kewajiban dalam penyelenggaraan pengusahaan;
d.
syarat-syarat teknis.
(2) Setiap Izin Usaha yang
telah diberikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat digunakan sesuai
dengan peruntukannya.
Pasal 25
(1) Pemerintah dapat
menyampaikan teguran tertulis, menangguhkan kegiatan, membekukan kegiatan, atau
mencabut Izin Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 berdasarkan :
a.
pelanggaran terhadap salah satu persyaratan yang tercantum dalam Izin
Usaha;
b.
pengulangan pelanggaran atas persyaratan Izin Usaha;
c.
tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan berdasarkan Undang-undang ini.
(2) Sebelum melaksanakan
pencabutan Izin Usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pemerintah terlebih
dahulu memberikan kesempatan selama jangka waktu tertentu kepada Badan Usaha
untuk meniadakan pelanggaran yang telah dilakukan atau pemenuhan persyaratan
yang ditetapkan.
Pasal 26
Terhadap kegiatan
pengolahan lapangan, pengangkutan, penyimpanan, dan penjualan hasil produksi
sendiri sebagai kelanjutan dari Eksplorasi dan Eksploitasi yang dilakukan Badan
Usaha atau Bentuk Usaha Tetap tidak diperlukan Izin Usaha tersendiri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23.
Pasal 27
(1) Menteri menetapkan
rencana induk jaringan transmisi dan distribusi gas bumi nasional.(2) Terhadap Badan Usaha pemegang Izin Usaha Pengangkutan Gas Bumi melalui jaringan pipa hanya dapat diberikan ruas Pengangkutan tertentu.
(3) Terhadap Badan Usaha pemegang Izin Usaha Niaga Gas Bumi melalui jaringan pipa hanya dapat diberikan wilayah Niaga tertentu.
Pasal 28
(1) Bahan Bakar Minyak
serta hasil olahan tertentu yang dipasarkan di dalam negeri untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat wajib memenuhi standar dan mutu yang ditetapkan oleh
Pemerintah.(2) Harga Bahan Bakar Minyak dan harga Gas Bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar.
(3) Pelaksanaan kebijaksanaan harga sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak mengurangi tanggung jawab sosial Pemerintah terhadap golongan masyarakat tertentu.
Pasal 29
(1) Pada wilayah yang
mengalami kelangkaan Bahan Bakar Minyak dan pada daerah-daerah terpencil,
fasilitas Pengangkutan dan Penyimpanan termasuk fasilitas penunjangnya, dapat
dimanfaatkan bersama pihak lain.(2) Pelaksanaan pemanfaatan fasilitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Badan Pengatur dengan tetap mempertimbangkan aspek teknis dan ekonomis.
Pasal 30
Ketentuan mengenai usaha
Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan, dan Niaga sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, dan Pasal 29 diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VI
PENERIMAAN NEGARA
PENERIMAAN NEGARA
Pasal 31
(1) Badan Usaha atau Bentuk
Usaha Tetap yang melaksanakan Kegiatan Usaha Hulu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (1) wajib membayar penerimaan negara yang berupa pajak dan
Penerimaan Negara Bukan Pajak.(2) Penerimaan negara yang berupa pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas :
a.
pajak-pajak;
b.
bea masuk, dan pungutan lain atas impor dan cukai;
c.
pajak daerah dan retribusi daerah.
(3) Penerimaan Negara Bukan
Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas :
a.
bagian negara;
b.
pungutan negara yang berupa iuran tetap dan iuran Eksplorasi dan
Eksploitasi;
c.
bonus-bonus.
(4) Dalam Kontrak Kerja
Sama ditentukan bahwa kewajiban membayar pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) huruf a dilakukan sesuai dengan :
a.
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku
pada saat Kontrak Kerja Sama ditandatangani; atau
b.
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku.
(5) Ketentuan mengenai penetapan besarnya bagian negara, pungutan negara, dan bonus sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), serta tata cara penyetorannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
(6) Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) merupakan penerimaan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, yang pembagiannya ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 32
Badan Usaha yang
melaksanakan Kegiatan Usaha Hilir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 wajib
membayar pajak, bea masuk dan pungutan lain atas impor, cukai, pajak daerah dan
retribusi daerah, serta kewajiban lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
BAB VII
HUBUNGAN KEGIATAN USAHA MINYAK DAN
GAS BUMI DENGAN HAK ATAS TANAH
HUBUNGAN KEGIATAN USAHA MINYAK DAN
GAS BUMI DENGAN HAK ATAS TANAH
Pasal 33
(1) Kegiatan usaha Minyak
dan Gas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dilaksanakan di dalam Wilayah
Hukum Pertambangan Indonesia.(2) Hak atas Wilayah Kerja tidak meliputi hak atas tanah permukaan bumi.
(3) Kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi tidak dapat dilaksanakan pada :
a.
tempat pemakaman, tempat yang dianggap suci, tempat umum, sarana dan
prasarana umum, cagar alam, cagar budaya, serta tanah milik masyarakat adat;
b.
lapangan dan bangunan pertahanan negara serta tanah di sekitarnya;
c.
bangunan bersejarah dan simbol-simbol negara;
d.
bangunan, rumah tinggal, atau pabrik beserta tanah pekarangan sekitarnya,
kecuali dengan izin dari instansi Pemerintah, persetujuan masyarakat, dan
perseorangan yang berkaitan dengan hal tersebut.
(4) Badan Usaha atau Bentuk
Usaha Tetap yang bermaksud melaksanakan kegiatannya dapat memindahkan bangunan,
tempat umum, sarana dan prasarana umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf
a dan huruf b setelah terlebih dahulu memperoleh izin dari instansi Pemerintah
yang berwenang.
Pasal 34
(1) Dalam hal Badan Usaha
atau Bentuk Usaha Tetap akan menggunakan bidang-bidang tanah hak atau tanah
negara di dalam Wilayah Kerjanya, Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang
bersangkutan wajib terlebih dahulu mengadakan penyelesaian dengan pemegang hak
atau pemakai tanah di atas tanah negara, sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.(2) Penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara musyawarah dan mufakat dengan cara jual beli, tukar-menukar, ganti rugi yang layak, pengakuan atau bentuk penggantian lain kepada pemegang hak atau pemakai tanah di atas tanah negara.
Pasal 35
Pemegang hak atas tanah
diwajibkan mengizinkan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap untuk melaksanakan
Eksplorasi dan Eksploitasi di atas tanah yang bersangkutan, apabila :
a.
sebelum kegiatan dimulai, terlebih dahulu memperlihatkan Kontrak Kerja
Sama atau salinannya yang sah, serta memberitahukan maksud dan tempat kegiatan
yang akan dilakukan;
b.
dilakukan terlebih dahulu penyelesaian atau jaminan penyelesaian
yang disetujui oleh pemegang hak atas tanah atau pemakai tanah di atas tanah
negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34.
Pasal 36
(1) Dalam hal Badan Usaha
atau Bentuk Usaha Tetap telah diberikan Wilayah Kerja, maka terhadap
bidang-bidang tanah yang dipergunakan langsung untuk kegiatan usaha Minyak dan
Gas Bumi dan areal pengamanannya, diberikan hak pakai sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan wajib memelihara serta menjaga
bidang tanah tersebut.(2) Dalam hal pemberian Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi areal yang luas di atas tanah negara, maka bagian-bagian tanah yang tidak digunakan untuk kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi, dapat diberikan kepada pihak lain oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang agraria atau pertanahan dengan mengutamakan masyarakat setempat setelah mendapat rekomendasi dari Menteri.
Pasal 37
Ketentuan mengenai tata
cara penyelesaian penggunaan tanah hak atau tanah negara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 35 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VIII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Bagian Kesatu
Pembinaan
Pembinaan
Pasal 38
Pembinaan terhadap kegiatan
usaha Minyak dan Gas Bumi dilakukan oleh Pemerintah.
Pasal 39
(1) Pembinaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 38 meliputi :
a.
penyelenggaraan urusan Pemerintah di bidang kegiatan usaha Minyak dan Gas
Bumi;
b.
penetapan kebijakan mengenai kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi
berdasarkan cadangan dan potensi sumber daya Minyak dan Gas Bumi yang dimiliki,
kemampuan produksi, kebutuhan Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi dalam negeri,
penguasaan teknologi, aspek lingkungan dan pelestarian lingkungan hidup,
kemampuan nasional, dan kebijakan pembangunan.
(2) Pelaksanaan pembinaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara cermat, transparan, dan
adil terhadap pelaksanaan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi.
Pasal 40
(1) Badan Usaha atau Bentuk
Usaha Tetap menjamin standar dan mutu yang berlaku sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku serta menerapkan kaidah keteknikan
yang baik.(2) Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap menjamin keselamatan dan kesehatan kerja serta pengelolaan lingkungan hidup dan menaati ketentuan peraturan perundangan-undangan yang berlaku dalam kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi.
(3) Pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berupa kewajiban untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan pencemaran serta pemulihan atas terjadinya kerusakan lingkungan hidup, termasuk kewajiban pascaoperasi pertambangan.
(4) Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang melaksanakan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 harus mengutamakan pemanfaatan tenaga kerja setempat, barang, jasa, serta kemampuan rekayasa dan rancang bangun dalam negeri secara transparan dan bersaing.
(5) Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang melaksanakan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ikut bertanggung jawab dalam mengembangkan lingkungan dan masyarakat setempat .
(6) Ketentuan mengenai keselamatan dan kesehatan kerja serta pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Pengawasan
Pengawasan
Pasal 41
(1) Tanggung jawab kegiatan
pengawasan atas pekerjaan dan pelaksanaan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi
terhadap ditaatinya ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku berada
pada departemen yang bidang tugas dan kewenangannya meliputi kegiatan usaha
Minyak dan Gas Bumi dan departemen lain yang terkait.(2) Pengawasan atas pelaksanaan Kegiatan Usaha Hulu berdasarkan Kontrak Kerja Sama dilaksanakan oleh Badan Pelaksana.
(3) Pengawasan atas pelaksanaan Kegiatan Usaha Hilir berdasarkan Izin Usaha dilaksanakan oleh Badan Pengatur.
Pasal 42
Pengawasan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) meliputi :
a.
konservasi sumber daya dan cadangan Minyak dan Gas Bumi;
b.
pengelolaan data Minyak dan Gas Bumi;
c.
penerapan kaidah keteknikan yang baik;
d.
jenis dan mutu hasil olahan Minyak dan Gas Bumi;
e.
alokasi dan distribusi Bahan Bakar Minyak dan bahan baku;
f.
keselamatan dan kesehatan kerja;
g.
pengelolaan lingkungan hidup;
h.
pemanfaatan barang, jasa, teknologi, dan kemampuan rekayasa dan rancang
bangun dalam negeri;
i.
penggunaan tenaga kerja asing;
j.
pengembangan tenaga kerja Indonesia;
k.
pengembangan lingkungan dan masyarakat setempat;
l.
l. penguasaan, pengembangan, dan penerapan teknologi Minyak dan Gas Bumi;
m.
kegiatan-kegiatan lain di bidang kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi
sepanjang menyangkut kepentingan umum.
Pasal 43
Ketentuan mengenai
pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, Pasal 39, Pasal
41, dan Pasal 42 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB IX
BADAN PELAKSANA DAN BADAN PENGATUR
BADAN PELAKSANA DAN BADAN PENGATUR
Pasal 44
(1) Pengawasan terhadap
pelaksanaan Kontrak Kerja Sama Kegiatan Usaha Hulu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 angka 1 dilaksanakan oleh Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (3).(2) Fungsi Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) melakukan pengawasan terhadap Kegiatan Usaha Hulu agar pengambilan sumber daya alam Minyak dan Gas Bumi milik negara dapat memberikan manfaat dan penerimaan yang maksimal bagi negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
(3) Tugas Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah :
a.
memberikan pertimbangan kepada Menteri atas kebijaksanaannya dalam hal
penyiapan dan penawaran Wilayah Kerja serta Kontrak Kerja Sama;
b.
melaksanakan penandatanganan Kontrak Kerja Sama;
c.
mengkaji dan menyampaikan rencana pengembangan lapangan yang pertama kali
akan diproduksikan dalam suatu Wilayah Kerja kepada Menteri untuk mendapatkan
persetujuan;
d.
memberikan persetujuan rencana pengembangan lapangan selain sebagaimana
dimaksud dalam huruf c;
e.
memberikan persetujuan rencana kerja dan anggaran;
f.
melaksanakan monitoring dan melaporkan kepada Menteri mengenai
pelaksanaan Kontrak Kerja Sama;
g.
menunjuk penjual Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi bagian negara yang dapat
memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi negara.
Pasal 45
(1) Badan Pelaksana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) merupakan badan hukum milik negara.(2) Badan Pelaksana terdiri atas unsur pimpinan, tenaga ahli, tenaga teknis, dan tenaga administratif.
(3) Kepala Badan Pelaksana diangkat dan diberhentikan oleh Presiden setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan dalam melaksanakan tugasnya bertanggung jawab kepada Presiden.
Pasal 46
(1) Pengawasan terhadap
pelaksanaan penyediaan dan pendistribusian Bahan Bakar Minyak dan Pengangkutan
Gas Bumi melalui pipa dilakukan oleh Badan Pengatur sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (4).(2) Fungsi Badan Pengatur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) melakukan pengaturan agar ketersediaan dan distribusi Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi yang ditetapkan Pemerintah dapat terjamin di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia serta meningkatkan pemanfaatan Gas Bumi di dalam negeri.
(3) Tugas Badan Pengatur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi pengaturan dan penetapan mengenai :
a.
ketersediaan dan distribusi Bahan Bakar Minyak;
b.
cadangan Bahan Bakar Minyak nasional;
c.
pemanfaatan fasilitas Pengangkutan dan Penyimpanan Bahan Bakar Minyak;
d.
tarif pengangkutan Gas Bumi melalui pipa;
e.
harga Gas Bumi untuk rumah tangga dan pelanggan kecil;
f.
pengusahaan transmisi dan distribusi Gas Bumi.
(4) Tugas Badan Pengatur
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mencakup juga tugas pengawasan dalam
bidang-bidang sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).
Pasal 47
(1) Struktur Badan Pengatur
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) terdiri atas komite dan bidang.(2) Komite sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas 1 (satu) orang ketua merangkap anggota dan 8 (delapan) orang anggota, yang berasal dari tenaga profesional.
(3) Ketua dan anggota Komite Badan Pengatur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Presiden setelah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
(4) Badan Pengatur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) bertanggung jawab kepada Presiden.
(5) Pembentukan Badan Pengatur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
Pasal 48
(1) Anggaran biaya
operasional Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 didasarkan pada
imbalan (fee) dari Pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.(2) Anggaran biaya operasional Badan Pengatur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 didasarkan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan iuran dari Badan Usaha yang diaturnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 49
Ketentuan mengenai struktur
organisasi, status, fungsi, tugas, personalia, wewenang dan tanggung jawab serta
mekanisme kerja Badan Pelaksana dan Badan Pengatur sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46, Pasal 47, dan Pasal
48 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB X
PENYIDIKAN
PENYIDIKAN
Pasal 50
(1) Selain Penyidik Pejabat
Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di
lingkungan departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi kegiatan
usaha Minyak dan Gas Bumi diberi wewenang khusus sebagai Penyidik sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana untuk
melakukan penyidikan tindak pidana dalam kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi.(2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berwenang :
a.
melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan yang
diterima berkenaan dengan tindak pidana dalam kegiatan usaha Minyak dan Gas
Bumi;
b.
melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan yang diduga melakukan
tindak pidana dalam kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi;
c.
Minyak dan Gas Bumi;
d.
menggeledah tempat dan/atau sarana yang diduga digunakan untuk melakukan
tindak pidana dalam kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi;
e.
melakukan pemeriksaan sarana dan prasarana kegiatan usaha Minyak dan Gas
Bumi dan menghentikan penggunaan peralatan yang diduga digunakan untuk melakukan
tindak pidana;
f.
menyegel dan/atau menyita alat kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi yang
digunakan untuk melakukan tindak pidana sebagai alat bukti;
g.
mendatangkan orang ahli yang diperlukan
dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak pidana dalam kegiatan usaha
Minyak dan Gas Bumi;
h.
menghentikan penyidikan perkara tindak pidana dalam kegiatan usaha Minyak
dan Gas Bumi.
(3) Penyidik Pegawai Negeri
Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan
perkara pidana kepada Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.(4) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib menghentikan penyidikannya dalam hal peristiwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a tidak terdapat cukup bukti dan/atau peristiwanya bukan merupakan tindak pidana.
(5) Pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB XI
KETENTUAN PIDANA
KETENTUAN PIDANA
Pasal 51
(1) Setiap orang yang
melakukan Survei Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) tanpa hak
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling
tinggi Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).(2) Setiap orang yang mengirim atau menyerahkan atau memindahtangankan data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 tanpa hak dalam bentuk apa pun dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling tinggi Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Pasal 52
Setiap orang yang melakukan
Eksplorasi dan/atau Eksploitasi tanpa mempunyai Kontrak Kerja Sama sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6
(enam) tahun dan denda paling tinggi Rp60.000.000.000,00 (enam puluh miliar
rupiah).
Pasal 53
Setiap orang yang melakukan
:
a.
Pengolahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 tanpa Izin Usaha
Pengolahan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda
paling tinggi Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah);
b.
Pengangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 tanpa Izin Usaha
Pengangkutan dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan
denda paling tinggi Rp40.000.000.000,00 (empat puluh miliar rupiah);
c.
Penyimpanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 tanpa Izin Usaha
Penyimpanan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda
paling tinggi Rp30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar rupiah);
d.
Niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 tanpa Izin Usaha Niaga dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling tinggi
Rp30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar rupiah).
Pasal 54
Setiap orang yang meniru
atau memalsukan Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi dan hasil olahan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6
(enam) tahun dan denda paling tinggi Rp60.000.000.000,00 (enam puluh miliar
rupiah).
Pasal 55
Setiap orang yang
menyalahgunakan Pengangkutan dan/atau Niaga Bahan Bakar Minyak yang disubsidi
Pemerintah dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda
paling tinggi Rp60.000.000.000,00 (enam puluh miliar rupiah).
Pasal 56
(1) Dalam hal tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Bab ini dilakukan oleh atau atas nama Badan Usaha
atau Bentuk Usaha Tetap, tuntutan dan pidana dikenakan terhadap Badan Usaha atau
Bentuk Usaha Tetap dan/atau pengurusnya.(2) Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap, pidana yang dijatuhkan kepada Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap tersebut adalah pidana denda, dengan ketentuan paling tinggi pidana denda ditambah sepertiganya.
Pasal 57
(1) Tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 adalah pelanggaran.(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52, Pasal 53, Pasal 54, dan Pasal 55 adalah kejahatan.
Pasal 58
Selain ketentuan pidana
sebagaimana dimaksud dalam Bab ini, sebagai pidana tambahan adalah pencabutan
hak atau perampasan barang yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak
pidana dalam kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi.
BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 59
Pada saat Undang-undang ini
berlaku :
a.
dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun dibentuk Badan Pelaksana;
b.
dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun dibentuk Badan Pengatur.
Pasal 60
Pada saat Undang-undang ini
berlaku :
a.
dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun, Pertamina dialihkan
bentuknya menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) dengan Peraturan Pemerintah;
b.
selama Persero sebagaimana dimaksud dalam huruf a belum terbentuk,
Pertamina yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 (Lembaran
Negara Tahun 1971 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2971) wajib
melaksanakan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi serta mengatur dan mengelola
kekayaan, pegawai dan hal penting lainnya yang diperlukan;
c.
saat terbentuknya Persero yang baru, kewajiban Pertamina sebagaimana
dimaksud dalam huruf b, dialihkan kepada Persero yang bersangkutan.
Pasal 61
Pada saat Undang-undang ini
berlaku :
a.
Pertamina tetap melaksanakan tugas dan fungsi pembinaan dan pengawasan
pengusahaan kontraktor Eksplorasi dan Eksploitasi termasuk Kontraktor Kontrak
Bagi Hasil sampai terbentuknya Badan Pelaksana;
b.
pada saat terbentuknya Persero sebagai pengganti Pertamina, badan usaha
milik negara tersebut wajib mengadakan Kontrak Kerja Sama dengan Badan Pelaksana
untuk melanjutkan Eksplorasi dan Eksploitasi pada bekas Wilayah Kuasa
Pertambangan Pertamina dan dianggap telah mendapatkan Izin Usaha yang diperlukan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 untuk usaha Pengolahan, Pengangkutan,
Penyimpanan, dan Niaga.
Pasal 62
Pada saat Undang-undang ini
berlaku Pertamina tetap melaksanakan tugas penyediaan dan pelayanan Bahan Bakar
Minyak untuk keperluan dalam negeri sampai jangka waktu paling lama 4 (empat)
tahun.
Pasal 63
Pada saat Undang-undang ini
berlaku :
a.
dengan terbentuknya Badan Pelaksana, semua hak, kewajiban, dan akibat
yang timbul dari Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) antara
Pertamina dan pihak lain beralih kepada Badan Pelaksana;
b.
dengan terbentuknya Badan Pelaksana, kontrak lain yang berkaitan dengan
kontrak sebagaimana tersebut pada huruf a antara Pertamina dan pihak lain
beralih kepada Badan Pelaksana;
c.
semua kontrak sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b dinyatakan
tetap berlaku sampai dengan berakhirnya kontrak yang bersangkutan;
d.
hak, kewajiban, dan akibat yang timbul dari kontrak, perjanjian atau
perikatan selain sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b tetap
dilaksanakan oleh Pertamina sampai dengan terbentuknya Persero yang didirikan
untuk itu dan beralih kepada Persero tersebut;
e.
pelaksanaan perundingan atau negosiasi antara Pertamina dan pihak lain
dalam rangka kerja sama Eksplorasi dan Eksploitasi beralih pelaksanaannya kepada
Menteri.
Pasal 64
Pada saat Undang-undang ini
berlaku :
a.
badan usaha milik negara, selain Pertamina, yang mempunyai kegiatan usaha
Minyak dan Gas Bumi dianggap telah mendapatkan Izin Usaha sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 23;
b.
pelaksanaan pembangunan yang pada saat Undang-undang ini berlaku sedang
dilakukan badan usaha milik negara sebagaimana dimaksud pada huruf a tetap
dilaksanakan oleh badan usaha milik negara yang bersangkutan;
c.
dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun, badan usaha milik negara
sebagaimana dimaksud pada huruf a wajib membentuk Badan Usaha yang didirikan
untuk kegiatan usahanya sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini;
d.
kontrak atau perjanjian antara badan usaha milik negara sebagaimana
dimaksud pada huruf a dan pihak lain tetap berlaku sampai berakhirnya jangka
waktu kontrak atau perjanjian yang bersangkutan.
BAB XIII
KETENTUAN LAIN
KETENTUAN LAIN
Pasal 65
Kegiatan usaha atas minyak
atau gas selain yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 2 sepanjang belum
atau tidak diatur dalam Undang-undang lain, diberlakukan ketentuan Undang-undang
ini.
BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 66
(1) Dengan berlakunya
Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku :
a.
Undang-Undang Nomor 44 Prp. Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan
Gas Bumi (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Nomor
2070);
b.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1962 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang Kewajiban Perusahaan Minyak
Memenuhi Kebutuhan Dalam Negeri (Lembaran Negara Tahun 1962 Nomor 80, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2505);
c.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak
dan Gas Bumi Negara (Lembaran Negara Tahun 1971 Nomor 76, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 2971) berikut segala perubahannya, terakhir diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1974 (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 3045).
(2) Segala peraturan
pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 44 Prp. Tahun 1960 tentang Pertambangan
Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 133, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 2070) dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan
Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (Lembaran Negara Tahun 1971 Nomor 76,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 2971) dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan atau belum diganti dengan peraturan baru berdasarkan Undang-undang
ini.
Pasal 67
Undang-undang ini mulai
berlaku pada tanggal diundangkan.Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 23 Nopember 2001
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 23 Nopember 2001
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK
INDONESIA TAHUN 2001 NOMOR 136
0 komentar:
Posting Komentar